Ben Graham dan Value Investing

Ben Graham dan Value Investing
Sumber : https://www.callcentrehelper.com/images/stories/2020/03/laptop-turns-into-book-760.jpg

Ditulis oleh : Parahita Irawan

Salah satu investor terbesar yang pernah ada adalah Benjamin Graham. Walaupun memiliki kemampuan akademis yang tidak diragukan (lulusan terbaik dari Columbia University), Ben lebih dikenal sebagai seorang praktisi investasi saham. Keluarga Ben merupakan imigran asal Inggris. Setelah tiba di New York, mereka mengubah nama keluarga dari Grossbaum menjadi Graham. Saya jadi teringat sebuah adegan di dalam film The Godfather II ketika Vito Andolini berimigrasi ke tanah impian, Amerika Serikat dan tanpa sengaja mengubah namanya menjadi Vito Corleone yang merupakan nama daerah kelahirannya.

Keluarga Graham mendapatkan ujian yang cukup berat ketika ayah Ben Graham meninggal hanya beberapa tahun setelah mereka menetap di Amerika Serikat. Ibu Ben, Dora bukanlah seorang yang tangguh untuk melanjutkan bisnis porselen warisan ayahnya. Dengan cepat, usahanya bangkrut. Dora pun mencoba menempuh cara lain dengan membeli saham US Steel dengan menggunakan fasilitas marjin. Tak lama, modalnya pun habis ketika terjadi Panic of 1907.

Dalam berinvestasi, Ben memiliki cara yang unik. Dia akan membeli saham-saham yang masih murah dan melakukan short selling terhadap saham-saham sejenis yang overvalued. Dengan cara ini, sampai dengan tahun 1929, joint account yang dikelolanya mampu menghasilkan keuntungan yang cukup tinggi bagi para investornya. Keadaan mulai berbalik pada tahun 1929 ketika depresi besar terjadi di Amerika Serikat dan menghanguskan sebagian besar portfolionya. Kejadian ini membuat Ben sangat terpukul dan membuatnya mengubah strategi investasinya secara drastis. Keamanan modal menjadi perhatian utamanya.

Ben Graham telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi saya. Saya terpikat dengan common sense-nya yang digunakannya dalam berinvestasi yang tertuang di dalam kedua bukunya yang sangat terkenal “Security Analysis” dan “Intelligent Investing”. Dari buku-buku tersebut, kita bisa melakukan screening saham berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh Ben Graham. Jika kita mau jujur, sebenarnya agak sulit untuk mendapatkan saham-saham yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut.

Sebagai contoh, Ben menginginkan suatu saham yang perkalian antara Price-to-Book ratio (P/BV) dan Price-to-Earning ratio (P/E) di bawah 22. Pada umumnya, suatu saham bisa dianggap relatif murah apabila memiliki rasio P/E di bawah 10. Berdasarkan kriteria Ben, P/BV maksimum yang dapat ditoleransi adalah 2 kali. Pada kondisi normal, sangat sulit bagi kita untuk menemukan saham berfundamental bagus yang memenuhi kondisi tersebut. Semakin stabil pertumbuhan suatu perusahaan, semakin tinggi P/E-nya.

Untuk memahami mengapa Ben Graham memberikan kriteria yang sedemikian ketatnya dalam melakukan pemilihan saham, kita harus kembali ke masa lalu.

Ben Graham hidup pada masa depresi besar melanda Amerika Serikat. Sedemikian hebatnya krisis tersebut sehingga saham-saham dihargai dengan sangat murah. Pada kondisi tersebut, investor memiliki bargaining position yang sangat kuat dan meskipun pemilihan saham dilakukan dengan sangat selektif, saham-saham yang memenuhi syarat bertebaran di mana-mana. Kondisi tersebut bisa dibilang tidak normal dan sangat jarang terjadi. Mau tidak mau, sebagian pemikiran Ben Graham pun terpengaruh.

Yang menarik, pada akhir hidupnya Ben Graham mengatakan bahwa sebagian dari metode yang dia gunakan menjadi tidak valid untuk digunakan karena pasar menjadi lebih efisien dan saham cenderung bergerak dalam grup.

Ben Graham adalah guru yang baik. Ia telah meletakkan dasar-dasar analisis fundamental saham. Apa yang telah dikemukakannya secara konseptual masih relevan dengan kondisi saat ini. Pandangannya bahwa suatu saham harus dilihat sebagai sebuah entitas bisnis masih terasa kebenarannya.

(Visited 84 times, 1 visits today)

Leave a Reply

Artikel Lainnya