Mengulik Book Value & TIDAK Semua Saham Undervalue Layak Investasi

Mengulik Book Value & TIDAK Semua Saham Undervalue Layak Investasi
Sumber : https://www.callcentrehelper.com/images/stories/2020/03/laptop-turns-into-book-760.jpg

Salah satu rumus yang saya gunakan untuk menghitung valuasi suatu saham adalah Graham Number dimana penyusun rumus tersebut adalah book value dan earning per share atau laba bersih per saham.

Sering sekali saya menulis tentang book value ini sebagai kondisi perusahaan dan laba bersih sebagai kinerja perusahaan.

Rumus lengkapnya adalah akar 22.5 x bvps x eps.

Jika hasil perhitungan ini jauh dibawah harga saat ini maka disebut overvalue.

Jika hasil perhitungan ini sedikit di bawah atau sedikit di atas maka disebut fair value

Jika hasil perhitungan ini jauh di atas harga saat ini maka disebut undervalue.

Tapi ternyata TIDAK SEMUA YANG UNDERVALUE LAYAK DIBELI

Lah kok bisa? Simak terus artikelnya ya.

Di dalam artikel ini kita akan membahas 3 hal berikut :

1. Penyusun rumus Graham Number

2. Mengenal aset dan hutang

3. Beda jenis aset atau hutang beda analisanya

4. Undervalue belum tentu layak investasi

5. Penerapan di rumus Graham Number

1. Penyusun rumus Graham Number

Sudah sedikit dijelaskan di atas bahwa rumus Graham Number terdiri dari 2 unsur yaitu book value dan eps.

2 unsur itu dipadukan dengan harga menghasilkan rasio PBV dan PER dimana PBV maksimal yang ditolerir adalah 1.5 dan PER yang ditolerir adalah 15.

Memang rumus itu digunakan untuk menghitung valuasi saham di Amerika sehingga sebagian investor tidak terlalu menyukai. Nah di artikel ini saya menuliskan rumus Graham Number sesuai dengan kondisi bursa saham di Indonesia Membedah Rumus Graham Number & Menyesuaikan Dengan IHSG

Book value sendiri merupakan perhitungan aset dikurangi hutang sehingga kita perlu mengetahui apa saja unsur dari aset dan hutang tersebut.

Ada banyak situasi yang membuat kita harus memerinci unsur dari aset dan hutang ini

Jangan-jangan aset terbesarnya disusun oleh uang kas

Bahkan jangan-jangan banyak uang kas karena tidak paham mau diapakan uang kas yang besar ini

Jangan-jangan aset terbesarnya disusun oleh piutang yang sulit tertagih atau persediaan yang sulit terjual

Jangan-jangan hutang terbesar hanyalah liabilitas kontrak atau deposit dari klien.

Jangan-jangan hutang terbesar dari pinjaman bank yang mau tidak mau harus diambil emiten karena kasnya seret.

Dari poin-poin di atas membuat book value per emiten per sektor memiliki value yang berbeda.

Emiten dengan kas besar berbeda dengan emiten yang piutangnya besar dan sulit tertagih

Emiten dengan hutang deposit klien tentu berbeda dengan emiten yang hobinya menerbitkan sukuk

Emiten yang memiliki hutang usaha besar tentu tidak bisa dibandingkan dengan emiten yang meminjam uang di bank.

Oleh karena itu simak poin no 2.

2. Mengenal Book value

Book value/ nilai buku dalam konteks analisis fundamental saham adalah selisih antara jumlah aset perusahaan dikurangi dengan berbagai liabilitas/utangnya.

Aset ini ada 2 yaitu aset lancar dan aset tidak lancar.

Untuk hutang juga ada 2 yaitu hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang.

Kita mulai dari aset.

Aset yang masuk ke dalam laporan keuangan adalah aset lancar dan aset tidak lancar.

Aset lancar (current assets) adalah uang tunai dan aset lain yang dapat diharapkan perusahaan untuk dikonversi menjadi uang tunai, dijual, atau digunakan dalam satu tahun atau siklus operasi normal.

Aset perusahaan akan dianggap sebagai aset lancar jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  • Perusahaan mengharapkan akan menggunakan atau menjual aset lancar dalam siklus operasi normal.
  • Perusahaan memiliki aset untuk tujuan diperdagangkan.
  • Perusahaan mengharapkan akan merealisasi aset dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan.
  • Kas atau setara kas kecuali aset tersebut dibatasi pertukaran atau penggunaannya untuk menyelesaikan kewajiban (liabilities) sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.

Aset lancar terbagi menjadi 5 jenis :

1. Kas dan setara kas

2. Investasi Jangka Pendek

3. Account Receivable atau Piutang

4. Beban Dibayar di Muka

5. Persediaan

Berikutnya adalah aset tidak lancar.

Aset tidak lancar adalah aset yang tidak dapat langsung dicairkan menjadi uang tunai. Biasanya, aset ini membutuhkan waktu yang relatif lama untuk diperdagangkan. Untuk aset tidak lancar tidak dapat diukur dalam satuan nilai mata uang seperti aset lancar.

Aset tidak lancar ada tiga macam. Ketiga macam aset tidak lancar tersebut adalah aset tetap, aset tidak berwujud, dan investasi jangka panjang.

1. Aset Tetap

Aset tetap adalah aset yang dibeli oleh perusahaan untuk modal menjalankan aktivitas perusahaan. Biasanya, aset ini berwujud, jika diukur dalam satuan nilai mata uang nilainya berubah-ubah seiring berjalannya waktu.

Umumnya, aset tetap akan dijual kembali ketika perusahaan mengalami perubahan yang signifikan seperti semakin berkembang atau semakin menurun bahkan bangkrut. Contoh dari aset tetap adalah gedung, mobil perusahaan, mesin-mesin, tanah, dan sebagainya.

2. Aset Tidak Berwujud

Aset tidak berwujud adalah aset yang tidak dapat dilihat bentuknya secara fisik, namun dapat dirasakan manfaat yang diberikan olehnya. Dalam praktiknya, aset ini sering disebut hak istimewa yang dimiliki perusahaan agar dapat dirasakan manfaat ekonominya. Berikut beberapa contoh dari aset tidak berwujud:

  • Hak cipta, hak yang diberikan oleh pemerintah akan sebuah karya intelektual yang diciptakan oleh individu ataupun perusahaan.
  • Hak paten, hak yang diberikan pemerintah atas penemuan yang bermanfaat bagi masyarakat.
  • Hak merek dagang, hak yang diberikan pemerintah terkait penggunaan nama dan lambang usaha.
  • Hak kontrak, hak yang diberikan oleh pihak tertentu kepada pihak lain selama jangka waktu tertentu agar dapat menggunakan asetnya.
  • Franchise, hak yang diperoleh dari kesepakatan antara dua pihak terkait penggunaan nama merek dagang, lambang usaha, dan resep khusus atas suatu produk.
  • Goodwill, nilai-nilai baik perusahaan yang memberikan keistimewaan bagi perusahaan.

3. Investasi Jangka Panjang

Investasi ini bisa berupa aset tetap dan tidak tetap yang disertakan dalam aktivitas ekonomi perusahaan yang bertujuan untuk menambah keuntungan usaha kedepannya contohnya pembelian Surat utang Negara, obligasi, atau pembelian saham perusahaan lain.

Selanjutnya adalah hutang.

Hutang ada 2 yaitu hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang

1. Hutang jangka pendek

Hutang jangka pendek adalah segala pembiayaan yang akan dibayar kembali dalam 12 bulan berjalan. Jika Anda memasukkan pinjaman dalam perkiraan Anda yang akan berlangsung selama 12 bulan atau kurang, seluruh pinjaman adalah hutang jangka pendek.

Sebaliknya, jika Anda memasukkan pinjaman yang akan dibayar kembali selama beberapa tahun, maka bagian yang akan Anda bayar kembali dalam 12 bulan saat ini adalah hutang jangka pendek.

Beberapa jenis hutang jangka pendek adalah:

  • Utang usaha, yakni semua utang dari pembelian kredit. Misalnya dari pemasok untuk pembelian grosir. Termasuk juga sewa kantor dan tagihan listrik.
  • Pinjaman jangka pendek, termasuk saat perusahaan membutuhkan modal tambahan untuk mengembangkan bisnis. Karena itu, perusahaan mengajukan pinjaman dari bank atau lembaga pemberi pinjaman lainnya. Biasanya perusahaan bisa mengambil pinjaman yang tenornya 90 hari.
  • Pembayaran sewa. Banyak perusahaan yang lebih memilih menyewa daripada membeli lokasi. Pembayaran sewa biasanya jatuh tempo dalam waktu 12 bulan ke depan.
  • Pajak terutang, termasuk di dalamnya adalah pajak lokal dan pajak lainnya yang harus dibayar dalam jangka waktu kurang dari 1 tahun.
  • Gaji dan upah karyawan, yaitu semua gaji yang harus dibayar pada karyawan.
  • Dividen saham. Jika perusahaan sudah mengumumkan dividen pada pemegang saham, tapi belum dibagikan, maka dividen itu terhitung sebagai kewajiban jangka pendek.

2. Hutang jangka panjang

Utang yang satu ini merupakan salah satu produk hutang yang pembayaran atau pelunasan nya diberikan tenggat waktu yang cukup lama, atau bisa dibilang waktu pelunasan dan pinjaman cukup lama.

Nah book value adalah aset dikurangi hutang.

Dari sini kita mulai belajar apa isi aset dan apa isi hutang. Tentu saja setelah belajar di atas kita mulai bisa membedakan mana emiten yang asetnya berkualitas, mana emiten yang asetnya mengkhawatirkan. Nah disimak terus di poin 3.

3. Beda jenis aset atau hutang beda analisanya

Setelah mengetahui isian dari aset dan isian dari hutang maka kita bisa mulai belajar untuk melihat kualitas aset atau hutang yang ada.

Semakin berkualitas aset atau hutangnya tentu saja valuasinya semakin tinggi. Kita akan memberikan contoh ke teman-teman terkait perbedaan-perbedaan ini

1. Uang kas merupakan nyawa utama suatu emiten. Tetapi tentu saja akan berbeda jika ada perusahaan yang hanya memiliki uang kas besar tetapi tidak tau cara menggunakannya.

Dulu HRUM merupakan emiten yang memiliki kas cukup besar bahkan lebih besar dibanding market capnya dan kinerja HRUM tetap istimewa karena mereka bisa memanfaatkan uang kasnya. Walopun ada sedikit kritik dari investornya dimana uang kas banyak tapi dividen yang dibagikan sedikit.

Dengan uang kas melimpah kita bisa melakukan banyak hal seperti ekspansi, membayar hutang, membeli kembali saham yang beredar, membagi dividen dan tentu saja jika ada emiten yang memiliki uang kas berlimpah tidak akan dihargai PBV 1 saja tetapi PBV 1.5 hingga 2 masih wajar.

Lain cerita ketika ada 1 emiten yang mempunyai kas mencapai Rp 12 triliun hasil melakukan IPO dan ternyata sampai sejauh ini menurut saya pihak emiten belum bisa menggunakan uang kas tersebut dengan baik.

Apakah emiten tersebut layak dihargai PBV 2 walopun uang kasnya berlimpah? Tentu saja tidak. Bisa jadi memang cukup PBV 1 saja.

2. Piutang usaha

Piutang usaha merupakan uang hasil penjualan produk namun belum sampai ke tangan emiten. Piutang usaha besar mempunyai 2 sisi buruk. Jika tertagih dan lancar maka bisa menjadi poin plus.

Namun jika piutang besar dan jatuh temponya lama maka mau tidak mau emiten harus memutar otak untuk mendapat pinjaman agar ada uang kas yang ready digunakan untuk operasional bisnisnya.

Contoh ISSP yang memiliki piutang usaha sangat besar dan belum jatuh tempo. Efeknya adalah ISSP harus rajin mencari tambahan uang kas melalui hutang bank atau menjual sukuk/obligasi.

Apakah layak ISSP dihargai PBV 1 sebagai harga wajarnya? Menurut saya tidak, mungkin PBV 0.7 sudah wajar.

3. Persediaan

Tentu saja memiliki persediaan yang besar dan siap jual merupakan berkah bagi emiten. Tetapi persediaan yang besar dan susah dijual apalagi jika tidak dijual emiten harus membuat gudang bisa menjadi bumerang tersendiri.

Kita bisa menentukan sendiri berapa PBV yang wajar bagi emiten model seperti ini.

Berbeda dengan emiten seperti AMRT dimana persediaanya berupa barang-barang ready to sell bahkan misal didiskon sedikit saja sudah pasti ludes.

Emiten dengan model bisnis seperti AMRT ini PBV 2 menurut saya masih fair.

4. Investasi

Ada 1 emiten yang unik yaitu aset terbesarnya adalah nilai investasi emiten terhadap perusahaan.

Emiten tersebut adalah SRTG. Berapa valuasi yang tepat untuk SRTG? Apakah PBV 1 sudah cukup?

Saya rasa banyak hal yang perlu diperhatikan untuk memvaluasi SRTG.

Contoh saat harga batubara naik dan emiten yang diinvestasi oleh SRTG (ADRO) mempunyai kinerja istimewa dan membagikan dividen besar maka PBV 1.5 bisa saja wajar.

Namun saat harga batubara anjlok dan kinerja ADRO juga anjlok maka PBV 1 cukup fair.

5. Brand

Setau saya brand tidak tercatat langsung di LK (Koreksi ya jika salah).

Namun brand ini ketika dijual hasilnya jauh diluar harga pada umumnya.

Contoh ketika UNVR menjual bisnis Blue Band.

Memvaluasi UNVR yang memiliki bisnis layaknya ritel dan mempunyai kekuatan brand jelas tidak mungkin hanya PBV 1. Bisa saja PBV 3 masih wajar untuk emiten sebesar UNVR.

Contoh lain adalah SIDO dengan Tolak Anginnya.

Contoh lainnya properti dengan stempel misal CTRA atau PWON jelas memiliki kualitas dan valuasi berbeda dibanding emiten yang kurang terkenal dari sisi brandnya.

6. Hutang usaha

Berhutang memiliki efek baik dan buruk bagi emiten. Jika bisa membayar maka berpotensi menambah book value namun jika tidak mampu membayar kemungkinan besar emiten bisa delisting.

LPPF mempunyai hutang usaha cukup besar dan berapa valuasi yang tepat untuk LPPF?

Cerita tentang hutang usaha ini adalah perusahaan berani menaruh barang di LPPF lebih dahulu dan dibayar ketika produknya laku.

Kekuatan brand membuat banyak perusahaan mau dibayar belakanganoleh LPPF.

Dalam konteks LPPF seperti ini DER 100% tidak berlaku dan PBV 2 menurut saya wajar.

7. Tanah

Bagi emiten properti tanah menjadi aset yang patut diperhitungkan. Walopun begitu tetap ada syarat dan ketentuan berlaku.

Tanah di lokasi strategis akan jauh lebi mahal dibanding tanah di pelosok. Misal di Jogja ada emiten punya tanah di dalam ringroad dengan emiten yang punya tanah di pelosok gunung kidul ya valuasinya beda.

Enggak mungkin kan kita memberi value misal PBV sama-sama 1 dimana tanah yang 1 lokasinya di segitiga emas yang satu tanahnya di pelosok kabupaten.

Selain itu tanah untuk properti dengan tanah kebun untuk sawit tentu saja valuasinya berbeda.

8. Hutang usaha

Jika diamati satu per satu banyak emiten yang memiliki hutang usaha cukup besar dan efeknya biasanya DER besar. Apakah kondisi tersebut benar? Tentu saja kurang cocok.

Disisi lain hutang usaha merupakan salah satu hutang kualitas baik yang artinya perusahaan berani memberikan pinjaman kepada emiten layaknya LPPF

Sampai disini paham ya beda jenis aset dan jenis hutangnya maka valuasi book valuenya berbeda dan tentu saja PBVnya berbeda.

Kesimpulannya

BEDA KUALITAS ASET ATAU HUTANG MAKA AKAN BERBEDA JUGA BOOK VALUENYA.

BERBEDA BOOK VALUENYA TENTU SAJA MEMBUAT VALUASINYA BERBEDA

4. Undervalue belum tentu layak investasi

Yang terakhir adalah emiten dengan valuasi undervalue belum tentu layak investasi jika memang kualitas aset dan hutangnya buruk.

Contoh sederhananya ada emiten dengan piutang dan persediaan besar. Ketika dilihat cash conversion cyclenya lama. Maka emiten ini walopun memiliki valuasi undervalue tetap tidak layak investasi.

Apakah ada contohnya? Silahkan diubek-ubek bagian Analisa atau KLIK DISINI.

Kok tidak ditampilkan langsung disini? Karena emiten per kuartal biasanya kinerjanya akan berubah. Saya takut malah bias.

5. Penerapan di rumus Graham Number

Kita sudah memahami terkait kualitas aset dan hutang maka disini kita bisa mulai mengotak atik rumus Graham Number disesuaikan dengan kondisi emiten.

Rumus awal Graham Number : √22.5 x EPS x BVPS

Angka 22.5 itu berasal dari perkalian PBV 1.5 x PER 15

Sekarang kita bisa memodifikasi PBV menjadi sesuai dengan kualitas aset atau hutang emiten

Misal LPPF Q1 2023  EPS 202 dan Book Value 234 harga wajar saham LPPF menurut Graham Number sebesar 1030

Jika kita menggunakan PBV 3 maka rumusnya menjadi 3 x 15 x 202 x 234 = Rp 1458.

Contoh emiten BAYU saat di Q1 2023 memiliki kas hampir 60% total aset maka PBV wajarnya bisa kita naikkan menjadi 2. Dengan EPS 183 dan Book Value 1135 maka perhitungan harga wajarnya menjadi sebagai berikut

√2 x 15 x 183 x 1135 = 2496.

Jika menggunakan Graham Number standar harga wajarnya 2162, dan jika menggunakan Graham Number versi kualitas aset menjadi Rp 2496.

Contoh lain ISSP Q2 2023 dengan EPS 57 dan Book Value 606 maka harga wajar saham ISSP menurut Graham Number sebesar 884.

Tetapi kualitas aset dan hutang ISSP menurut saya kurang baik maka PBV wajarnya 0.5 hasil perhitungannya :

√0.5 x 15 x 57 x 606 = 508.

Gimana teman-teman? Sudah paham? Jika masih bingung bisa tanya di kolom komentar atau chat saya di WA

Sumber :

1. https://pintu.co.id/

2. https://accurate.id/

(Visited 680 times, 1 visits today)

Leave a Reply

Artikel Lainnya