GJTL : Laporan Keuangan Q4 Tahun 2021
A. SEKILAS LAPORAN KEUANGAN
PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) telah merilis laporan keuangan full year tahun 2021 dan mencatatkan penjualan Rp 15,3 triliun pada tahun 2021 atau tumbuh sekitar 14% dibandingkan tahun 2020 dengan realisasi penjualan Rp 13,4 triliun.
Penjualan GJTL terbesar masih didominasi untuk pasar ekspor. Perlu diketahui bahwa pasar ekspor ini akan berhubungan erat dengan adanya kurs mata uang sehingga kita juga perlu mencermati terkait kurs ini di laporan laba rugi.
Kenaikan penjualan dibarengi dengan beban pokok penjualan yang melonjak 23.3% dari Rp 10.7 Triliun di tahun 2020 menjadi Rp 13,2 triliun di tahun 2021.
Beban pokok pendapatan terbesar GJTL dikarenakan adanya penambahan persediaan. Hal ini yang akan menjadi pembahasan di artikel ini.
Laba kotor GJTL tahun 2021 susut menjadi Rp 2,1 triliun, dari sebelumnya realisasi di tahun 2020 sebesar Rp 2,6 triliun.
Emiten yang sekitar 5% sahamnya ini digenggam Lo Kheng Hong membukukan laba bersih tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk Rp 86,3 miliar pada tahun 2021. Jumlah tersebut menyusut 73% ketimbang realisasi pada tahun 2020 dengan capaian laba bersih Rp 320,3 miliar.
Di sisi aset ada kenaikan 3% dibanding tahun 2020. Aset per 2021 sebesar Rp 18.4 Triliun sedangkan di tahun 2020 sebesar Rp 17.7 Triliun.
Di sisi liabilitas juga ada kenaikan sebesar 5% menjadi Rp 11.4 Triliun.
B. PEMBAHASAN LAPORAN KEUANGAN
Membahas laporan keuangan GJTL untuk tahun 2021 ini pasti tidak akan lepas dari adanya fakta bahwa EPSnya menurun hingga 75%.
Bagaimana tidak, di tahun 2020 EPS GJTL sebesar 92 dan di tahun 2021 ini hanya Rp 25.
Selain itu juga rasio DER yang besarnya 164%. Padahal kan amannya hanya 100%.
Tentu saja pembahasan yang runtut dimulai dari laporan laba ruginya.
Kita mulai dari bagian pendapatan.
Pendapatan GJTL di tahun 2021 ini ternyata lebih tinggi dibanding tahun 2020 dengan kenaikan sebesar 14%. Pendapatan tahun 2021 sebesar Rp 15.3 Triliun dan di tahun 2020 sebesar Rp 13.4 Triliun.
Jika melihat dari pendapatan memang terlihat seperti ada kenaikan tetapi sebenarnya bukan tetapi memang pendapatan tahun 2020 saja yang menurun.
Kita lihat pendapatan tahun 2019 sebesar Rp 15.9 Triliun dan tahun 2018 sebesar Rp 15.3 Triliun.
Artinya pendapatan GJTL bukan naik sebenarnya tetapi memang kembali ke tahun 2019 dan 2018 sedangkan di tahun 2020 memang turun. Hal ini menjadi kabar bahagia bagi para shareholders GJTL.
Sekarang lanjut di bagian beban pendapatan.
Kenaikan penjualan secara umum akan dibarengi dengan beban pokok penjualan yang melonjak dan ternyata memang mengalami lonjakan sebesar 23.3% dari Rp 10.7 Triliun di tahun 2020 menjadi Rp 13,2 triliun di tahun 2021.
Bagaimana dengan tahun 2019 dan 2018?
Tahun 2019 sebesar Rp 13.1 Triliun dan di tahun 2018 sebesar 12.8 Triliun. Sekali lagi artinya memang GJTL justru kembali ke kinerja sebelum terjadinya pandemi.
Permasalahannya adalah beban pokok pendapatan di tahun 2021 mengalami kenaikan yang signifikan jika dibanding tahun 2020. Kita harus melihat Catatan Laporan Keuangannya di no 31 dan 38.
Dari data di atas terlihat bahwa ada penambahan bahan baku yang digunakan secara signifikan yaitu di tahun 2020 sebesar Rp 5.9 Triliun menjadi Rp 8.7 Triliun di tahun 2021 atau naik sebesar 46%.
Ketika perusahaan mendapat kenaikan beban pokok penjualan maka akan ada 2 kenaikan di laporan keuangannya.
Sekarang kita perlu melihat arus kas dari aktivitas operasi dan ternyata memang ada kenaikan yang signifikan di bagian Pembayaran kas kepada pemasok dan karyawan.
Tahun 2020 hanya mengeluarkan kas sebesar Rp 11.6 Triliun dan di tahun 2021 mengeluarkan uang sebanyak Rp 15.5 Triliun.
Dan jika memang uang kas digunakan untuk menambah persediaan maka jelas persediaan harus meningkat dan kita harus menelusurinya di bagian Neraca atau Balance sheet.
Terdapat penambahan persediaan sebesar Rp 1.03 Triliun dari Rp 1.8 Triliun menjadi Rp 2.9 Triliun.
Kita juga harus tau persediaan itu masih dalam bentuk bahan baku atau sudah jadi, karena jika masih dalam bahan jadi tentu proses menjualnya akan berbeda dengan jika sudah menjadi bahan jadi.
Dan ternyata sebagian besar masih dalam bentuk bahan jadi sehingga masih memerlukan waktu untuk bisa dijual.
Proses inilah yang menjadikan menjadikan EPS berkurang hingga 75% dan arus kas dari aktivitas operasi juga berkurang secara signifikan
Apakah bagi perusahaan aman? Seharusnya aman. Walopun begitu kita juga WAJIB memantau untuk Lap Keu Q1 Tahun 2022 apakah memang GJTL bisa menjual persediaan yang ada.
Problem berikutnya adalah tentang rasio DER yang mencapai 164.70%.
Perlu teman-teman ketahui bahwa rasio yang aman secara UMUM adalah dibawah 100%. Namun kita juga perlu mengetahui konsep bisnis perusahaan tersebut semisal finansial akan memiliki rasio DER di atas 300% bahkan di atas 500%.
Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan bisa menggunakan :
1. dana dari pihak luar seperti bank yang sifatnya wajib dikembalikan (hutang)
2. dana dari pemilik perusahaan yang sifatnya menjadi kepemilikan (ekuitas/saham/equity)
Hutang sendiri ada 2 yaitu hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang.
Jika hutang jangka pendek atau hanya hutang usaha kepada pemasok (vendor) atau hutang akibat dari pendapatan diterima di muka (uang muka kerja), dapat dikatakan bahwa hutang tersebut tergolong sehat.
Mengingat bahwa hutang tersebut terjadi dalam suatu proses produksi, misalnya hutang kepada pemasok bahan baku, atau hutang akibat penerimaan uang muka dari pemesan barang, maka hutang tersebut segera lunas pada saat barang yang diproduksi oleh perusahaan telah habis terjual.
Jika ternyata hutang jangka panjang lebih besar daripada hutang jangka pendek, kondisi tersebut memiliki 2 makna
1. Tentunya hutang jangka panjang akan membuat emiten bisa bernafas
2. Jika terlalu panjang akan terus menggerogoti laba yang dihasilkan.
Perusahaan akan terus menanggung kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman sampai hutangnya lunas. Kondisi tersebut akan menekan laba yang diperoleh perusahaan atau dapat mengganggu likuiditas di masa yang akan datang.
Ekuitas, atau disebut juga dengan Ekuitas Pemilik Saham (Shareholder’s Equity), adalah jumlah uang yang harus dikembalikan kepada pemilik bisnis atau pemilik saham ketika semua Aset sudah dilikuidasi dan semua Hutang sudah dibayarkan.
Total Ekuitas (Equity) = Total Aset (Asset) – Total Kewajiban (Liabilities)
Aset bisa dilihat di bagian Balance sheet
Sekarang kita masukkan kembali rumus DER
DER atau Debt Equity Ratio adalah suatu rasio keuangan yang menunjukkan persentase antara Utang dengan Ekuitas yang dimiliki oleh pemegang saham.
Rumusnya sebagai berikut
DER = Total hutang / ekuitas
DER = 11.481.186 / 6.971.164 x 100%
DER = 164%.
Apakah aman dengan rasio seperti itu?
1. Bisa aman bisa tidak. Tetapi kita wajib tau budaya bisnis emiten tersebut apakah memang memiliki rasio DER di atas 100% di tahun-tahun sebelumnya
Dan ternyata GJTL rutin memiliki rasio DER di atas 100% bahkan jika kita lihat kembali, tahun 2021 ini jauh lebih baik dibanding tahun 2019 dan 2018 dengan potensi kinerja yang relatif sama.
2. Bisa aman bisa tidak dengan melihat kemampuan GJTL membayar hutangnya menggunakan rasio lain yaitu rasio Current Ratio
Current ratio atau rasio lancar adalah salah satu Rasio Likuiditas yang digunakan untuk menilai posisi likuiditas suatu entitas dengan menggunakan hubungan antara Aktiva Lancar dan Liabilitas Lancar.
Kenapa aktiva/ aset lancar? karena aset lancar inilah yang bisa digunakan untuk segera menutup hutang yang ada.
Dan kenapa menggunakan liabilitas lancar? karena liabilitas atau hutang lancar ini adalah hutang jangka pendek yang harus segera dilunasi.
Rumusnya Current Ratio = Aset Lancar / Kewajiban Lancar
Aset lancar = Rp 8.320.220
Kewajiban lancar = Rp 4.720.225
Current Ratio = Aset Lancar / Kewajiban Lancar
Current Ratio = 8.320.220 / 4.720.225
Current Ratio = 1.76 atau 176%.
Semakin tinggi Current Ratio maka semakin aman.
Perhatikan DER dan Current Ratio dari tahun 2018
Ternyata DERnya terus menurun dibanding tahun 2018 dan 2019 dan untuk current rationya malah meningkat.
Artinya masih aman bagi perusahaan.
C. RASIO PERUSAHAAN
1. EPS
Namun dengan EPS seperti itu justru ada kemungkinan dibuang oleh market dan harganya akan turun.
Nah oleh karena itu Stock Guide ID ini memberikan pembahasan seperti di atas apa yang sebenarnya terjadi.
Dan sekarang kita menjadi tahu mengapa EPS GJTL tahun 2021 ini sangat sedikit.
2. Book Value
Walopun dengan DER yang di atas 100% dan EPS naik turun nyatanya book value dari GJTL tahun 2021 ini terus meningkat jika dibanding dari tahun 2018, 2019, 2020.
3. Arus Cash Flow
- Aktivitas Operasi
Dari sisi aktivitas opeerasi sudah terlihat bahwa pembayaran kas kepada pemasok menjadi beban signifikan.
Selain itu penerimaan pajak yang sedikit dan pembayaran pajak penghasilan yang banyak membuat arus kasnya jauh lebih kecil dibanding tahun 2020.
- Aktivitas Investasi
Untuk aktivitas investasi tidak ada perubahan signifikan
- Aktivitas Pendanaan
Dari aktivitas pendanaan ini lumayan terjadi banyak perbedaan.
D. KESIMPULAN
1. Rasio-Rasio Penting
Harga : 630 (harga penutupan tanggal 05/04/2022)
EPS : 25 (annualized)
Book Value : 2000 (annualized)
Harga Wajar : 1061 (Graham Number)
MOS : 41%
PER : 25.42
PBV : 0.31
GPM : 13.85
NPM : 0.56
ROE : 1.24
2. Analisa InveStory ID
Jika menggunakan EPS 25 dan Book Value 2000 maka harga wajar saham GJTL menurut Graham Number sebesar 1061 berbanding dengan harga sekarang 630.
Artinya GJTL masih undervalue dan layak dimasukkan sebagai saham value stock.
Apalagi jika sentimen EPS yang turun drastis, DER di atas 100% dan harga yang downtrend masih berlanjut maka menjadi peluang bagi kita untuk mengakumulasi saham GJTL ini.
3. Harga Beli & Harga Jual
Harga Wajar : 1061 (Graham Number)
Target Profit :
Isikan :
- target harga = harga wajar saham
- harga sekarang = harga saham milik kita
Kita bisa menentukan target profit yang diinginkan dengan cara memasukkan harga pembelian kita dan harga wajar saham tersebut.
Semisal kita ingin mendapatkan target profit 60% di saham GJTL ini maka harga maksimal yang masih bisa kita beli adalah Rp 660.
Saham yang kita beli bisa naik dan turun dan sebagai antisipasinya kita bisa melakukan average down jika memang kinerjanya masih stabil.
Adapun average down yang baik saat harganya turun 15% agar kita tidak kehabisan modal.
Masukkan harga milik kita dan masukkan berapa persentase penurunannya maka kita akan mengetahui di harga berapa sebaiknya kita melakukan avg down.
Bagaimana dengan titik jualnya?
Kita bisa menggunakan 2 metode yaitu ketika sudah sampai di harga wajarnya dan sudah mendapat keuntungan tertentu.
Saya menyertakan kalkulator agar teman-teman bisa menentukan kapan waktu yang tepat untuk menjual sahamnya.
Itulah analisa tentang GJTL berdasar Lap Keuangan Kuartal 4 Tahun 2021
Sumber :
Gimana cara berlangganannya?