8 Psikologi Yang Bisa Mengganggu Investasimu (Part 1)

8 Psikologi Yang Bisa Mengganggu Investasimu (Part 1)

Banyak yang mengatakan kalo masuk di bursa saham faktor yang paling penting bukanlah banyak atau sedikitnya modal, namun bagaimana kita bisa mengendalikan psikologis kita.

Dengan kata lain walopun modalnya besar belum tentu sukses dan walopun modalnya kecil asal bisa menjaga psikologis maka tetap bisa cuan.

Apakah pernyataan itu memang benar?

Yuk disimak beberapa kejadian di bursa saham yang pasti dialami oleh semua investor

“Saya nyesel belinya terlalu cepat karena ternyata setelah saya beli harganya malah turun. Harusnya menunggu bentar”

“Saya menyesal menawar terlalu dalam, sekarang malah sahamnya terbang duluan”

“Saya menyesal TP terlalu cepat, harusnya sabar sedikit cuannya jauh lebih banyak”

“Saya menyesal harusnya tadi TP, sekarang floating profitnya malah jadi floating minus”

Pernyataan di atas merupakan contoh kondisi yang sering kita alami di bursa saham dan kadang penyesalan-penyesalan itulah yang justru membuat kita merubah rencana, menjadi panik dan akhirnya melakukan tindakan di karena dorongan emosi bukan karena berdasar data.

Teman-teman bisa membaca detail apa saja penyesalan yang sering dilakukan oleh investor maupun trader di artikel berikut

Penyesalan Investor/ Trader Saham. Kamu Paling Sering Yang Mana?

Nah hal-hal seperti ini jika tidak segera disadari dan diberi solusi maka tinggal menunggu waktunya modal kita habis.

Apakah psikologis ini hanya dialami oleh investor pemula? Tidak. Investor senior yang sudah kenyang dengan pengalaman pun bisa saja kena.

Memang sih tentu saja lebih banyak dialami oleh investor pemula.

Berikut ini rangkuman dari berbagai sumber tentang 8 psikologis yang bisa mengganggu proses kita berinvestasi saham (Artikel kami jadikan 2 part dan masing-masing part ada 4 psikologis)

#1 Confirmation Bias

Pernahkah teman-teman mencari artikel atau informasi yang meng-amini suatu analisa seperti misal :

“Karena percaya saham AYAM merupakan saham bagus maka yang dibaca adalah informasi yang bagus-bagusnya saja dari emiten AYAM. Jika ada kabar buruk maka langsung diskip”

Atau

“Karena percaya bahwa fundamental perusahaan SAPI buruk maka terus mencari artikel yang memang mengatakan bahwa emiten SAPI buruk”

Kondisi ini disebut dengan confirmation bias.

Confirmation Bias adalah suatu kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari bukti-bukti yang

– mendukung pendapat atau kepercayaannya

– memperkuat keyakinan atau nilai-nilai mereka serta sulit untuk dihilangkan apabila mereka sudah meyakini hal tersebut

– serta mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya.

Dari kesalahan pemikiran ini kita akan memberi bobot yang berlebih terhadap infromasi yang sesuai dengan pemikiran kita.

Makanya banyak sekali perdebatan tentang suatu saham karena kita akan semakin mendukung apa yang kita yakini dan kita semakin membenci apa yang kita anggap salah.

Terus bagaimana solusinya?

– Bersikap objektif terhadap semua pemberitaan terhadap emiten baik itu mendukung hipotesis kita maupun bertentangan dengan hipotesis kita.

– Bacalah artikel atau orang-orang yang kontra dengan hipotesis kita agar kita bisa tau sudut pandang artikel atau orang yang kontra dengan hipotesis kita

– Tetaplah berpikiran terbuka

#2 Loss Aversion Bias

Untuk loss aversion bias ini sudah pernah saya tulis di artikel Kalkulator Average Down Saham Dan Emosi Penyebab Cuan Tidak Optimal.

Namun tidak ada salahnya saya tulis ulang agar semakin mudah dipahami.

Loss aversion bias adalah perasaan yang sangat kuat dari dorongan hati untuk menghindari kerugian daripada mendapatkan keuntungan.

Contoh loss aversion bias paling gampang di dunia saham adalah

Ahmad mencari saham yang memiliki fundamental bagus dan masih undervalue alias di bawah harga wajar menggunakan 7 screening disini dengan menggunakan indikator 5 jurus sederhana di artikel ini

5 JURUS SEDERHANA Cara Memilih Saham Menggunakan Analisa Value Investing + Contoh Sahamnya (DIJAMIN BISA)

Akhirnya Ahmad menemukan saham AYAM dengan harga Rp 500 dan target harga wajarnya Rp 1000 (MOS 100%).

Tetapi beberapa hari dibeli ternyata saham AYAM bukannya naik malah pelan-pelan turun ke 490 terus ke 480 dan sampai di titik Rp 400.

Ahmad mulai panik dan harapannya berubah. Yang tadinya ingin cuan 100% sekarang hanya berharap untuk segera keluar.

Dan setelah beberapa minggu akhirnya saham AYAM naik menjadi 510 dan Ahmad langsung bergembira karena sudah keluar dan cuan Rp 10.

1 bulan kemudian saham AYAM sudah nangkring di harga 800 dan setelah LK keluar terbang menjadi Rp 1100.

Ahmad melakukan loss aversion bias karena mending mengamankan uang yang ada dibanding mengejar yang bisa saja untung tapi juga ada kemungkinan rugi.

Akhirnya Ahmad hanya menyesal mengapa menjual sahamnya terlalu cepat.

Itulah contoh loss aversion bias.

Apa penyebab loss aversion bias ini muncul?

– Karena seringnya membuka aplikasi portofolio sehingga membuat plan yang sudah disusun berantakan

– Karena ikut grup-grup dan kita tidak bisa menyaring informasinya

– Terlalu fokus dengan bursa saham (Jika kita punya pekerjaan lain bisa membuat kita tidak akan sering-sering buka portofolio dan terlalu sering baca-baca grup yang membuat plan kita berubah)

#3 Disposition Effect Bias

Ada dua pilihan: menjual saham AYAM atau SAPI.

Saham AYAM-nya masih menanggung kerugian 30% sejak dibeli (floating loss), sedangkan saham SAPI sudah memberikan keuntungan 30% (floating profit).

Kemungkinan besar, kita akan menjual saham SAPI untuk merealisasi paper gain (mencari pride) dan menghindari realisasi paper loss dari saham AYAM.

Kecenderungan mencari pride dan menghindari regret ini disebut “disposition effect” atau “get-eventinis“. Investor tak mau menjual saham sebelum harganya kembali ke level saat beli (get even). Bahayanya, investor bisa terjebak taking profit terlalu cepat dan memegang floating loss terlalu lama.

Fenomena bias psikologis ini dikemukakan oleh pakar behavior finance Hersh Shefrin dan Meir Statman di Journal of Finance pada 1985. Karya mereka diilhami Prospect Theory dari pemenang Nobel Daniel Kahneman yang mengindikasikan investor lebih suka menghindari kerugian daripada mencari keuntungan (loss aversion).

Dalam paper mereka “The Disposition to Sell Winners Too Early and Ride Losers Too Long: Theory and Evidence” (1985), Statman dan Shefrin mendefinisikan disposition effect adalah keengganan investor untuk menjual aset yang merugi, serta kemungkinan lebih besarnya untuk menjual aset yang sudah menghasilkan keuntungan meski baru profit sedikit.

Mengapa? Ternyata perasaan sedih akibat merugi Rp 100 juta lebih besar daripada perasaan puas jika memperoleh keuntungan Rp 100 juta.

Disposition effect bias  adalah bauran antara rasa takut (fear) dan pengharapan (hope).

Kita takut merugi dan berharap harga saham akan berbalik naik lagi, sehingga terus menerus mempertahankan saham yang harganya merosot.

Ketika harga benar-benar naik lagi, ia takut kehilangan profit sehingga malah terlalu buru-buru menjual sahamnya. Singkatnya, bias ini membuat investor mengambil keputusan investasi yang mungkin tidak rasional.

Apa penyebab terjadinya disposition effect bias ini?

1. Menghindari Rugi

Pada tahun 1979, Amos Tversky dan Daniel Kahneman menelusuri penyebab bias disposisi hingga menemukan “teori prospek”.

Teori tersebut menyatakan bahwa ketika seseorang diberikan dua pilihan yang sama, satu dijelaskan dari perspektif kemungkinan keuntungan dan yang lainnya dari perspektif kemungkinan kerugian, orang tersebut akan lebih cenderung memilih opsi pertama, meskipun keduanya dapat membawa hasil ekonomi yang sama.

Teori tersebut memprediksi para investor merasakan sakitnya kerugian dua kali lebih kuat daripada kegembiraan karena untung, walau nilai nominalnya setara. Alhasil kita berupaya menghindari rugi dengan segala cara, termasuk hold saham-saham yang sudah jelas babak belur.

Makanya investor jarang cutloss walopun sudah babak belur.

Eh emang investor boleh cutloss?

Nah bisa donk baca artikel ini

Bolehkah Investor Cutloss? Dan Bagaimana Langkahnya?

2. Menolak Menyesal

Ketika melakukan jual rugi (cut loss), seorang investor secara tidak langsung mengakui bahwa ia salah prediksi atau salah masuk saham. Demi tidak menyesali kesalahan seperti itu, banyak orang memilih untuk hold saham saja.

Ia menutup mata dengan keyakinan seolah-olah investasinya tidak akan rugi selama ia tidak cut loss, meskipun harga saham sudah anjlok drastis.

Sikap seperti ini tidak rasional, tetapi banyak sekali orang yang melakukannya.

Padahal sebenarnya ketika kita hold saham nyangkut yang tidak memberikan dividen ataupun capital gain, kita juga mengalami kerugian berupa opportunity cost karena tak bisa menggunakan dana yang terkunci di situ untuk berinvestasi saham lain yang lebih menguntungkan dan rugi waktu.

Berarti hold saham yang sudah minus dalam tidak boleh? Boleh donk asal ada analisa yang mendukung. Silahkan baca artikel berikut Solusi Kalo Porto Sudah Terlanjur Minus Dalam

3. Perhitungan Mental

Menurut Shefrin dan Statman, investor cenderung membuat “perhitungan mental” baru untuk setiap investasi. Dengan cara ini, mereka berfokus pada kinerja setiap saham secara terpisah dan bukannya kinerja portofolio secara keseluruhan.

Inilah yang membuat orang jadi semakin susah cut loss. Padahal jika ia mau cut loss, ia mungkin akan bisa membeli saham lain yang berkinerja lebih baik dan lebih sesuai bagi portofolionya.

4. Kendali Diri

Setelah membaca artikel dari awal hingga bagian ini, mungkin kamu sudah mulai memahami beragam faktor yang memicu disposition effect beserta mindset seperti apa yang lebih tepat untuk dipakai dalam berinvestasi.

Namun, hanya mengetahui saja tidak cukup. Banyak investor memahami tindakannya tidak rasional, tetapi tetap saja mengambil keputusan yang tidak rasional itu dengan dalih “insting”.

Hal ini berhubungan dengan kendali diri. Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya menghapus kebiasaan tahan di atas dan jual murah, tetapi setidaknya berupayalah untuk meminimalkan disposition effect dalam proses pengambilan keputusan investasi.

#4 Hindsight Bias

Apakah teman-teman pernah membaca komentar seperti ini :

“Bener kan apa yang saya analisa. Pasti saham itu turun”

“Apa gw bilang, naikkan sahamnya”

Hindsight bias adalah kecenderungan seseorang melihat kejadian menjadi lebih dapat diprediksi atau mereka sudah memperkirakan hasil kejadian, padahal peristiwa tersebut masih belum terjadi.

Setelah adanya suatu peristiwa, mereka sering kali percaya bahwa sudah mengetahui hasil peristiwa tersebut. Mereka juga cenderung melebih-lebihkan kemampuannya dalam memprediksi sesuatu.

Dalam kehidupan sehari-hari, hindsight bias juga dikenal sebagai fenomena “saya sudah mengetahuinya selama ini”.

Kembali ke konteks saham.

Saat membeli saham kita hanya berdasar analisa saja dan hasilnya fifty fifty antara naik atau turun.

Nah, ketika prediksi kamu ternyata berhasil, maka sikap yang tidak lain tidak bisa kamu hindari adalah melebih-lebihkan.

“Kan, apa gw bilang. Sahamnya naik (atau turun). Sama dengan analisa gw. Makanya join di grup Telegram gw”

“Ehmmm gw sih sebenarnya sudah tau kalo saham itu mau turun, makanya gw enggak mau beli”

Kenapa ada hindsight bias?

Karena manusia memang menyukai dan menganggap bahwa hal-hal yang terjadi di dunia ini mudah untuk diprediksi termasuk dalam konteks berinvestasi saham.

Terus bagaimana solusinya?

Pertama, kamu perlu sadar bahwa masa depan tidak dapat diprediksi walopun kamu sudah sangat yakin terhadap analisamu yang mendukung.

Kedua, ketika kamu hendak melakukan sebuah pengambilan keputusan, lakukan dengan berdasar pada data, jangan berdasar perkiraan saja.

Ketiga, luangkan waktu yang kamu miliki untuk berpikir secara eksplisit atau menyeluruh mengenai mengapa sesuatu terjadi tidak sesuai dengan apa yang kamu prediksi.

Itulah 4 dari 8 psikologis yang bisa mengganggu kegiatan berinvestasi saham kita.

Di artikel lanjutannya ada 4 psikologi lain yaitu

#5 Familiarity Bias

#6 Self-Attribution Bias

#7 Trend-Chasing Bias

#8 Endowment Effect

Ditunggu ya.

Sumber :

1. https://kampungpasarmodal.com/

Artikel Terkait Saham Dalam Islam

2. https://www.akseleran.co.id/

3. https://ajaib.co.id/

4. https://kolom.kontan.co.id/

5. https://www.idntimes.com/

6. https://www.kompasiana.com/

(Visited 156 times, 1 visits today)

Leave a Reply

Artikel Lainnya